Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam Di SD N 21 VII KOTO

Fadhila Zulfa S.Pd (guru Kelas VI) berpandangan bahwa pembentukan karakter melalui
PAI hendaknya berdasarkan pembelajaran akhlak atau budi pekerti. Hal ini berdasarkan firman
Allah Swt, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad &
Baihaqi). Ia berpendapat jika sangat tepat bila pembentukan karakter pada sekolah ini
didasarkan pada akhlak Nabi Muhammad Saw. Sehingga menurut penulis, berdasarkan
pandangan ini maka pembentukan karakter melalui PAI bisa disebut dengan Pendidikan
Akhlaqiyyah.

Untuk meneliti lebih jauh, penulis perlu melakukan pengamatan. Pengamatan ini
penulis lakukan pada kegiatan di dalam kelas, maupun di luar kelas saat istirahat berlangsung:
Pertama, pengamatan di dalam kelas. Penulis mendapati siswa-siswi SD N 21 VII KOTO kelas IV, ketika mengadakan diskusi kelompok. Dalam diskusi tersebut, penulis mendapati mereka
mengimplementasikan sikap toleran (tasamuh) dengan pendapat kawan-kawannya. Penulis
juga mendapati nilai tasamuh tersebut ketika para siswa-siswi memilih ketua kelompok diskusi,
yakni mereka juga menggunakan asas demokratis melalui musyawarah kelompok. Di samping
itu, penulis juga menemukan mereka berlomba-lomba agar pendapat-pendapat mereka menjadi
sesuatu yang terbaik. Kedua, pengamatan di luar kelas ketika istirahat. Penulis mengamati
siswa-siswi SD N 21 VII KOTO ketika sedang antre untuk membeli makanan ringan di kantin.
Dari antrean tersebut tampak bahwa mereka secara rapi mematuhi sesuai dengan antreannya.
Antrean secara rapi ini merupakan praktik toleransi atau tenggang rasa dalam sekolah tersebut.
Meski masih ada satu atau dua anak yang merebut antrean, namun hal tersebut tidak mengurangi
keberhasilan nilai toleransi dan tenggang rasa di SD N 21 VII KOTO. Ketiga, pengamatan
tentang sikap inklusif (terbuka) dan demokratis juga penulis temukan saat ada diskusi kelompok
di kelas V SD N 21 VII KOTO. Para siswa-siswi SD N 21 VII KOTO ternyata bisa bersikap
terbuka (inklusif) atas pendapat-pendapat temannya, serta bisa menerima pendapat temannya
yang paling unggul dalam diskusi tersebut. Kemudian apabila ada salah satu pendapat teman
mereka yang salah, mereka pun saling terbuka dalam menerima nasihat. Dalam diskusi itu juga
ada unsur tolong menolong (ta’awun) atas pendapat anggota kelompoknya. Artinya, bila
pendapat salah satu anggota kelompoknya kalah berargumen dengan kelompok lain maka
kawan sekelompok tersebut membantu dengan argumen yang lain.

Baca Juga :  Family Time : Menghabiskan Waktu Bersama

Related posts