Tahap Finishing Konservasi Meriam, Sejarah Kolonial Belanda di Bukittinggi
BUKITTINGGI - Hari Senin, 1 Juli 2024, tahap finishing konservasi sembilan Meriam peninggalan sejarah dari masa penjajahan Belanda di Kota Bukittinggi telah selesai. Kegiatan ini diinisiasi oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Batusangkar, bekerja sama dengan Bidang Kebudayaan Disdikbud dan Dispar Kota Bukittinggi.
Pamong Budaya Ahli Muda dan Arkeolog, Tumini, menjelaskan bahwa konservasi dilakukan selama empat hari dengan metode bara kering dan basah. Dari sembilan meriam tersebut, dua berada di Taman Marga Satwa Budaya Kinantan (TMSBK) dan tujuh di kawasan Benteng Fort De Kock.
Tim konservasi BPK Wilayah III Sumatera Barat, yang dipimpin oleh Tumini, terdiri dari Titin Novita Handa Putri (Konservator), Novi Yantini Pancasila Murti (Teknisi Pelestari Cagar Budaya), Afriyondri (Teknisi Pelestari Cagar Budaya), dan Masrisol (Pengolah Data Cagar Budaya).
Kegiatan ini juga melibatkan, tenaga lapangan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Disparpora Kota Bukittinggi, termasuk pelajar dari SMP dan SD 10 Saripan Kota Bukittinggi serta masyarakat umum. Sebanyak 25 anak dari Rumah Baca Anak Nagari (RBAN) turut berpartisipasi dalam konservasi meriam di Benteng Fort De Kock pada hari Minggu, 30 Juni 2024 lalu.
Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatera Barat menjadi penyelenggara program pembersihan dan perawatan material meriam menggunakan jeruk nipis dan asam sitrat.
"Anak-anak yang terlibat terlihat serius mengikuti kegiatan ini, yang memberi mereka pemahaman tentang pentingnya merawat cagar budaya di sekitar mereka," ujar Tumini.
Menurut Tumini, penerima manfaat dari kegiatan ini adalah pengunjung, pengelola kawasan, pemerintah daerah, dan BPK Wilayah III. Salah satu tugas BPK, sesuai keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI Nomor 477/0/2022, adalah melaksanakan pengawetan terhadap cagar budaya dan objek yang diduga cagar budaya.
Sejarah Fort De Kock
Benteng Fort De Kock, yang terletak di sebuah bukit di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi, adalah peninggalan kolonial Belanda yang didirikan oleh Kapten Bauer pada tahun 1825. Awalnya bernama Sterrenschans, benteng ini kemudian dikenal sebagai Fort De Kock, dinamai sesuai dengan komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Hendrik Mercus De Kock.
Benteng ini dibangun untuk menghambat gerakan Paderi (1821-1837) yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol serta memperkuat posisi Belanda di Bukittinggi. Meriam kuno yang ditempatkan di titik-titik tertentu di sekitar benteng menjadi peninggalan arkeologis yang masih tersisa hingga kini.
Pada 19-22 Februari 2024, telah dilakukan observasi keterawatan terhadap kondisi meriam di kawasan Benteng Fort De Kock, sebagai bagian dari upaya konservasi yang berkelanjutan.
Berita Terkait
- Update Stok Darah PMI Kota Bukittinggi, Senin 18 November 2024
- Cawako Erman Safar Dihari-hari Dekatnya Pilkada Serentak 2024
- Update Stok Darah PMI Kota Bukittinggi, Jum'at 15 November 2024
- Malva, Siswa SMAN 4 Bukittinggi Punya Kisah Menarik Ketika Takut Donor Darah
- Update Stok Darah PMI Kota Bukittinggi Per Selasa, 12 November 2024
Update Stok Darah PMI Kota Bukittinggi, Senin 18 November 2024
Edukasi - 18 November 2024
Cawako Erman Safar Dihari-hari Dekatnya Pilkada Serentak 2024
Edukasi - 16 November 2024
Update Stok Darah PMI Kota Bukittinggi, Jum'at 15 November 2024
Edukasi - 15 November 2024