Diversi Solusi Penyelesaian Perkara Pidana Anak

*FAHDEL FRIMA

Sabtu, 23 Desember 2023 | Artikel
Diversi Solusi Penyelesaian  Perkara Pidana Anak
Fadel frima, JFU Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Sumbar

Menarainfo, Padang -Pentingnya perlindungan anak bagi bangsa Indonesia, membentuk kita bersikap responsif dan progresif dalam menata hak - hak anak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Berdasarkan Konvensi Hak - Hak Anak melalui Kepres No. 36 Tahun 1990, secara umum anak mendapatkan Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival), Hak terhadap perlindungan (Protection Right), Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights), dan hak untuk berpartisipasi (Participation Rights) yang menandakan bahwa Indonesia secara Nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak - hak anak. 

Konvensi hak anak yang kemudian di adopsi dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada dasarnya anak - anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang secara tidak langsung mengakomodir prinsip - prinsip Hak Anak sebagaimana diatur dalam konvensi hak anak yang mengacu pada UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak. Setelah diundangkannya UU Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum, dan saat ini UU No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.

Setiap Anak dalam proses peradilan pidana berhak diperlakukan secara manusiawi dengan mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif ini ialah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

 Berdasarkan Undang - Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak lebih mengutamakan proses penyelesaian penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan, dan persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum serta pembinaan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan selama proses pelaksanaan pidana dan setelah menjalani pidana atau tindakan sesuai dengan  

Pasal 1 ayat (2) Undang - Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Anak yang berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan anak bukan didasarkan kepada motif yang jahat (evil will/evil mind). Akan tetapi dipengaruhi oleh lingkungan yang buruk serta kurangnya pengawasan dari orang tua. Anak yang melakukan penyimpangan dari norma-norma sosial, disebut sebagai “Anak Nakal” atau dengan istilah “Juvenille Deliquency”. Dengan istilah tersebut terhadapnya dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan penjahat (criminal). Upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak saat ini melalui Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang Berhadapan dengan Hukum disebut anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Diversi

Dalam Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan penyelesaian perkara Anak dengan  mengupayakan penyelesaian perkara-perkara Anak secara diversi. Hakim Anak wajib mengupayakan diversi dalam penyelesaian perkara anak dengan cara membuka hati antara pihak korban dan pihak anak pelaku agar bisa menyelesaikan perkara dengan musyawarah perdamaian/diversi. Musyawarah Diversi dilaksanakan di Pengadilan Negeri bertempat di ruang khusus Diversi Anak yang di pimpin oleh Hakim anak yang dalam melakukan tugasnya Hakim Anak dibantu oleh seorang panitera pengganti serta Penuntut Umum juga sebagai fasilitator. Pembimbing kemasyarakatan juga sebagai mediator dan pendampingan diversi dalam penanganan perkara anak. Kemudian musyawarah diversi dihadiri oleh Anak dan/atau Orang Tua/Wali, Korban dan/atau Orang Tua/Wali, dan/atau Pekerja Sosial Profesional.

Proses Diversi wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya dengan pengecualian tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban dan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Kesepakatan Diversi tersebut dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat

Kesepakatan Diversi yang dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Selama proses Diversi berlangsung sampai dengan kesepakatan Diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan. Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan membuat senyaman mungkin kepada Anak yang berkonflik dengan Hukum supaya Anak tersebut bisa mengungkapkan apa yang telah terjadi. Korban tidak perlu dihadirkan. Bapas juga melakukan secara pendekatan daripada intervensi terhadap Anak yang berkonflik dengan Hukum, ABH memiliki Orang Tua sebagai Wali Anak. Bapas melalui peran Pembimbing Kemasyarakatan sebagai mengarahkan kejadian yang telah terjadi, kelanjutan perkara anak antara ABH dan korban sehingga terjadi kesepakatan saling memaafkan atau ganti rugi.

*JFU Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Sumbar

Bagikan: